Rabu, 30 November 2016

Budaya pamer dunya ( harta ) di kampungku

Aku melihat ada suatu “penyakit” di kampungku, entah penyakit apa namanya. Mungkin penyakit satu ini melanda kampung-kampung yang lain juga, melanda desa lain atau bahkan kotaku. Ah kuharap jangan. Tak mampu kubayangkan jika penyakit ini merasuk ke setiap warga kampung, menggerogoti setiap sendinya hingga melahap satu sama lain.

Sebuah desa terpencil yang terletak di seberang kali Bengawan panguragan. Wilayahnya yang membentuk huruf O, di mana di kiri kanan membentang sawah dari pagertoya hingga desa kreyo , Desa Gujeg Kecamatan Panguragan Kabupaten cirebon.

Ada satu hal yang membuatku terusik untuk menuliskannya. , karena kecintaan ku pada kampung gujeg.  Aku tak bisa menyalahkan siapa-siapa, namun aku juga masih bukan apa-apa. Ingin sekali rasanya aku membuat sesuatu yang dapat menyadarkan mereka, membebaskan dari belenggu penyakit yang terus mendera setiap warganya.

Aku merasa bahwa setiap warga di kampungku selalu mencoba untuk “unjuk gigi” satu sama lain, dengan kekayaannya, hartanya dan kendaraannya. Orientasi mereka bukan lagi sebuah kesederhanaan seperti orang desa dulu. Semuanya berlomba-lomba mengejar harta, menuhankan uang. Yang ada di pikiran mereka adalah bekerja agar punya uang, supaya memiliki sesuatu yang bisa “menjual”. Pemuda-pemuda desa terpaksa harus merantau ke Jakarta mencari pekerjaan, sedang pendidikan bukanlah jadi hal utama.

Ibu- ibu saling pamer gelang dan kalung agar diakui sebagai keluarga terpandang, supaya kami warga yang miskin kagum dan berkata “wow” padanya. Tolak ukur suatu kesuksesan pun kini telah berganti makna. Adalah dengan minimal memiliki sepeda motor dan pekerjaan tetap, kau telah sukses. Tak peduli itu motor siapa pekerjaannya pun apa. Dengan begitu mereka bisa “dianggap” dan diterima oleh masyarakat.

Setiap dari mereka saling membanggakan diri dengan pekerjaannya masing-masing. Menjadi sebuah “keharusan” jika kemana-mana selalu membawa kendaraannya “tercinta”, ke mushola, kuburan, ngirim zakat ke tetangga dll. Kalau lebih mudah dengan jalan kaki kenapa harus naik motor? Kalau lebih enak naik motor, kenapa harus pakai mobil?

Lalu hal yang menarik lagi adalah pemuda desa di kampungku. Jujur aku miris melihatnya.  Hampir semua orang tua dikampungku tak peduli lagi dengan pendidikan anaknya, yang ada di kepala mereka adalah anak-anaknya segera bekerja dan menikah. Betapa banyak teman seanggkatanku bahkan adik kelas yang telah menikah di usia dini. Mungkin mereka siap secara materi karena punya pekerjaan tetap, tapi apakah mereka siap untuk memberi pendidikan yang layak bagi anak-anaknya?

Belum lagi masalah moral pemuda yang suka bersenang-senang dan melanggar pakem-pakem yang ada. Namun yang tak mampu aku cerna adalah, orang tua mereka seakan tak peduli jika itu terjadi pada anaknya. Maka aku berasumsi, layaknya di televisi-televisi, kehancuran moral seorang anak itu disebabkan buruknya orang tua dalam mendidik anak, sehingga wajar adanya jika hal ini terjadi. Ya, inilah realita sesungguhnya yang terjadi di kampungku.

Mencoba menerawang sejarah. Aku masih ingat, dulu semasa kecil di awal tahun 2000-an, saat maghrib menjelang kami berbondong menuju mushola untuk sholat dan belajar mengaji. Masih terbayang jelas kami bermain berupa-rupa permainan yang sekan tak ada habisnya. Hari libur adalah hari yang menyenangkan karena kami bisa bermain seharian penuh. Ada petak umpet, kelereng, bermain karet, bola bekel, layang-layang, slodoran, bom-boman, tentara-tantara-an, mencari sarang burung, memanjat, berenang, bermain bola dan lain-lain.

Mungkin generasi kami, generasi 90-an merupakan generasi terakhir yang sempat merasakan permainan tradisional, sebelum era millennium tiba. Dan kini, perlahan namun pasti, lapangan semakin sepi, acara Agustus-an pun semakin tak diminati. Anak-anak lebih gemar ke warnet dari pada bermain bersama. Mengaji ke mushola adalah sebuah formalitas belaka. Buktinya, banyak anak-anak bolos mengaji dibiarkan saja oleh orang tuanya. Sekolah pun hanya untuk bisa calistung tok. Yang perempuan lulus SMP atau SMA langsung menikah, yang laki-laki lulus atau tidak SMP/SMA tetap ke Jakarta mencari kerja.

Masalah ekonomi masih menjadi alasan klasik kami untuk diam di tempat. Tapi apakah karena masalah ekonomi pula adat dan budaya kampung ini tersisihkan? Lalu nilai-nilai dan norma yang ada semakin ditinggalkan? Yang tabu tak lagi dianggap malu, yang hina malah disuka, namun yang berwenang tetap tak mau tahu.

Belum cukup sampai disitu. Layaknya di kota, ketimpangan antara si miskin dan si kaya pun terjadi di kampungku. Si kaya semakin merajalela dan menikmati perannya untuk membuat si miskin iri.  hingga nenek tua yang hidup sendiri di tinggal anak-anaknya.

Komplitsudah permasalahan di kampungku. Jika siklus ini terus berlangsung, lalu apa gunanya pendidikan? Toh sebagian besar mereka bekerja dengan otot bukan otak. Indonesia merdeka 71tahun atau 400 tahun lagi pun mungkin tak ada yang berubah banyak pada kampungku. Oh sungguh miris ..!!! Cukup sekian unek - unek dari saya yg peduli dan cinta sama desaku tercinta.
kalau ada kata saya yg kurang berkenan ANG MIAN mohon maaf yang sebesar-besar nya

WASALAM

Rabu, 09 November 2016

pembangunan di desaku dari masa ke masa

                                                                     

                                                      
 
    Desa Gujeg nama desa ku kata orang tua berarti jejeg ( tak berkurang ), desa ku ini terletak di kabupaten
Cirebon kecamatan Panguragan. di desa ku ini pemandangan nya hijau nan asri, perlu kalian ketahui di desa ku ini cewek nya cakep-cakep lo ( heeheee.. ), cowok nya  juga ganteng - ganteng pokoke bagi kalian yang singgah di kampung ku di jamin betah dan gak mau pulang de...!!!
   Di desa ku ini di pimpin oleh kuwu perempuan, nama kuwu nya hj. Ruisah ( kuwu perempuan pertamaa dalam sejarah di desa ku ) , di era kepemimpinan nya banyak yg mencibir, gak bisa ini lah  & gak bisa itu lah
tapi bagi saya mereka yg nyinyir itu berpikiran kuno dan kolot, kalau menurut saya yg penting bisa membangun desa dan memajukan desa kenapa tidak kita dukung ( bener ga bro...) toh kuwu laki - laki juga belum tentu sebaik perempuan dalam memajukan desa kita ini
  menurut cerita kakek ku, dari sekian kuwu laki - laki yg memimpin gujeg ini baru kuwu sukardi ( ALMARHUM ) yg mendapat tempat di hati masyarakat gujeg , ya walaupun memimpin dengan sisitem yg otoriter. pada masa pemerintahan nya saluran irigasi lancar dan fungsi kali berjalan sebabagai mana mesti nya kata kakek ku, itu dulu lain dengan sekarang pungkas nya.
sepeninggal kuwu Sukardi ( ALMARHUM ) , kali - kali mengalami penyempitan, got - got tidak jalan , saluran irigasi tidak berjalan sebagai mana mesti nya. bukan saya mengecilkan pamri sesudah
 kuwu almarhum Sukardi menurut saya mereka itu gagal dalam membangun desa, mereka hanya bisa mengklaim kalau saya berhasil membangun desa dan pada kenyataan nya tidak ada yang di rasakan petani dan warga desa gujeg.
  Alkhamdulilah di era kuwu sekarang sudah mulai ada pembangunan di desa ku, mulai dari saluran irigasi dari wates gujeg sampai sampai pojok kulan sedang di kerjakan pengerukan , pembangunan gapura yg dulu tidak ada sekarang sudah mulai di bangun , kantor kuwu pun sudah dalam tahap renovasi dan selokan pun sudah kembali ke fungsi nya, ya walaupun masi ada kekurangan di sana - sini , tapi bagi saya itu besar manfaat bagi petani dan warga desa. terimah kasih ibu kuwu kini di era mu memimpin desa sudah ada pembangunan di desa kami dan seluruh masarakat desa gujeg selalu mendukung mu. mari kita sama - sama bergotong royong membangun desa ke era yang lebih maju lagi, sekian dan terimah kasih


nb*mohon maaf apabilah ada kata - kata yg kurang berkenan
     saya mohon maaf yg sebesar - besar nya

Kamis, 03 November 2016

gujeg ku kini dan sekarang

  1. Kampung kecil di salah satu kecamatan yang ada di kabupapaten cirebon ini dahulu adalah kampung yang religius, kampung yang kental dengan kegiatan keagamaan, kampung yang setiap sore selalu terlihat anak-anak mulai dari usia SD sampai usia SMA lalu lalang dengan sarung dan kopyah di kepala untuk menuju musholla, surau, langgar, masjid dan tempat ibadah yang lain untuk ngaji, nyantri dan belajar membaca Quran. Menjelang maghrib sampai kira-kira jam 8 malam, kampungku ini tak pernah sepi dari lantunan ayat suci al-Quran, teriakan anak-anak yang sayup-sayup terdengar dari beberapa surau dan musholla, mereka dengan fasih melafalkan kalimat berbahasa Arab, mulai dari bacaan sholat, syair dan bait dari kitab suci alquran, dan sebagainya.
    gujeg, itu nama kampungku. Desa gujeg di kecamatan Panguragan ini merupakan desa kecil, desa yang akses menuju kecamatan, harus melalui deretan sawah dan hamparan lahan kosong, hingga kebiasaan masyarakat sekitar menjelang maghrib sudah tak ada lagi aktivitas di luar kampung yang dilakukan. Maka tak heran jika kampungku ini jauh dari kesan nakal, bukan kampung yang dihuni oleh pemuda pemabuk, bukan pula kampung yang rame dengan pemuda yang nongkrong di pos ronda dengan kartu remi. Kampungku adalah kampung damai, sebagaimana yang tertulis dalam syair lagu salah satu mars disalah satu sekolah dikampungku ini.
    Secara geografis, desa gujeg disebelah barat berbatasan dengan desa kreyo, sedangkan disebelah timur berbatasan dengan desa pagertoya. Mayoritas penduduk di desaku ini berprofesi sebagai petani, sebagian pedagang dan sebagian lagi pengangguran, inilah kampungku. Walaupun sebagian mereka pengangguran, namun mereka jauh dari kesan nakal, sama sekali tak terlibat kriminal,.
    Pendidikan masyarakat di desa gujeg pun tergolong rendah kala itu, salah satu penyebabnya adalah sulitnya akses pendidikan, masyarakat yang hendak melanjutkan ke sekolah tingkat lanjut, harus keluar kampung bahkan keluar kecamatan. Maka tak heran jika sebagian besar masyarakat di desa gujeg berpendidikan SD.
    desa gujeg adalah desa yang asri, desa yang damai, desa yang jauh dari kesan desa nakal, karena hampir seluruh pemuda di desa gujeg adalah pemuda terdidik walaupun mereka tidak berpendidikan tinggi. Pesantren cukup bagi pemuda dan anak-anak di desa gujeg sebagai jembatan untuk menggapai ilmu pengetahuan dan cita-cita dimasa yang akan datang.
    Kini, desa yang dahulu asri dan damai itu berubah, berubah sekali, berubah 180 derajat. Desa yang dahulu aman dan damai, seolah menjadi tempat yang tak nyaman, menjadi desa yang mencekam, desa yang jauh dari kesan desa santri, anak-anak tak lagi terlihat berlalu-lalang dengan kopyah dan sarungnya menuju ke musholla, lantunan ayat dan kalimat berbahasa Arab pun mulai tak terdengar dan seolah lenyap.
    Entah apa yang menyebabkan desaku ini berubah sedemikian rupa, pemuda dan pemudi di kampungku mulai banyak yang bermasalah, mulai dari  pemakai dan pemabuk, na’uzubillah.
    Pada sisi yang lain, sisi yang baik, mulai banyak bermunculan sarjana dan beberapa pemuda yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, tingkat kesadaran masyarakat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi mulai terbangun.
    Namun sayang sungguh sayang, kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan itu pun diikuti oleh aib jelek yang ditorehkan oleh ulah sekelompok pemuda yang tak bertanggung jawab, mereka ada yang terlibat narkoba & pemabuk.
    Oh…kampungku, nasibmu kini tak seindah saat aku masih bersamamu dulu. Esok dan entah di masa yang akan datang, apa yang akan terjadi pada kampungku ini, aku sendiripun tak mampu membayangkannya.
    Hanya mampu berdoa dan berharap, semoga kelak dimasa yang akan datang, kampungku menjadi kampung yang baik, kampung yang aman, kampung santri yang penuh dengan lantunan ayat suci dan kalimat berbahasa Arab, Aamiin.

    sekian dulu keluh - kesah yg membuat ang mian resah, salam sejahtera selalu buat warga gujeg