Aku melihat ada suatu “penyakit” di kampungku, entah penyakit apa namanya. Mungkin penyakit satu ini melanda kampung-kampung yang lain juga, melanda desa lain atau bahkan kotaku. Ah kuharap jangan. Tak mampu kubayangkan jika penyakit ini merasuk ke setiap warga kampung, menggerogoti setiap sendinya hingga melahap satu sama lain.
Sebuah desa terpencil yang terletak di seberang kali Bengawan panguragan. Wilayahnya yang membentuk huruf O, di mana di kiri kanan membentang sawah dari pagertoya hingga desa kreyo , Desa Gujeg Kecamatan Panguragan Kabupaten cirebon.
Ada satu hal yang membuatku terusik untuk menuliskannya. , karena kecintaan ku pada kampung gujeg. Aku tak bisa menyalahkan siapa-siapa, namun aku juga masih bukan apa-apa. Ingin sekali rasanya aku membuat sesuatu yang dapat menyadarkan mereka, membebaskan dari belenggu penyakit yang terus mendera setiap warganya.
Aku merasa bahwa setiap warga di kampungku selalu mencoba untuk “unjuk gigi” satu sama lain, dengan kekayaannya, hartanya dan kendaraannya. Orientasi mereka bukan lagi sebuah kesederhanaan seperti orang desa dulu. Semuanya berlomba-lomba mengejar harta, menuhankan uang. Yang ada di pikiran mereka adalah bekerja agar punya uang, supaya memiliki sesuatu yang bisa “menjual”. Pemuda-pemuda desa terpaksa harus merantau ke Jakarta mencari pekerjaan, sedang pendidikan bukanlah jadi hal utama.
Ibu- ibu saling pamer gelang dan kalung agar diakui sebagai keluarga terpandang, supaya kami warga yang miskin kagum dan berkata “wow” padanya. Tolak ukur suatu kesuksesan pun kini telah berganti makna. Adalah dengan minimal memiliki sepeda motor dan pekerjaan tetap, kau telah sukses. Tak peduli itu motor siapa pekerjaannya pun apa. Dengan begitu mereka bisa “dianggap” dan diterima oleh masyarakat.
Setiap dari mereka saling membanggakan diri dengan pekerjaannya masing-masing. Menjadi sebuah “keharusan” jika kemana-mana selalu membawa kendaraannya “tercinta”, ke mushola, kuburan, ngirim zakat ke tetangga dll. Kalau lebih mudah dengan jalan kaki kenapa harus naik motor? Kalau lebih enak naik motor, kenapa harus pakai mobil?
Lalu hal yang menarik lagi adalah pemuda desa di kampungku. Jujur aku miris melihatnya. Hampir semua orang tua dikampungku tak peduli lagi dengan pendidikan anaknya, yang ada di kepala mereka adalah anak-anaknya segera bekerja dan menikah. Betapa banyak teman seanggkatanku bahkan adik kelas yang telah menikah di usia dini. Mungkin mereka siap secara materi karena punya pekerjaan tetap, tapi apakah mereka siap untuk memberi pendidikan yang layak bagi anak-anaknya?
Belum lagi masalah moral pemuda yang suka bersenang-senang dan melanggar pakem-pakem yang ada. Namun yang tak mampu aku cerna adalah, orang tua mereka seakan tak peduli jika itu terjadi pada anaknya. Maka aku berasumsi, layaknya di televisi-televisi, kehancuran moral seorang anak itu disebabkan buruknya orang tua dalam mendidik anak, sehingga wajar adanya jika hal ini terjadi. Ya, inilah realita sesungguhnya yang terjadi di kampungku.
Mencoba menerawang sejarah. Aku masih ingat, dulu semasa kecil di awal tahun 2000-an, saat maghrib menjelang kami berbondong menuju mushola untuk sholat dan belajar mengaji. Masih terbayang jelas kami bermain berupa-rupa permainan yang sekan tak ada habisnya. Hari libur adalah hari yang menyenangkan karena kami bisa bermain seharian penuh. Ada petak umpet, kelereng, bermain karet, bola bekel, layang-layang, slodoran, bom-boman, tentara-tantara-an, mencari sarang burung, memanjat, berenang, bermain bola dan lain-lain.
Mungkin generasi kami, generasi 90-an merupakan generasi terakhir yang sempat merasakan permainan tradisional, sebelum era millennium tiba. Dan kini, perlahan namun pasti, lapangan semakin sepi, acara Agustus-an pun semakin tak diminati. Anak-anak lebih gemar ke warnet dari pada bermain bersama. Mengaji ke mushola adalah sebuah formalitas belaka. Buktinya, banyak anak-anak bolos mengaji dibiarkan saja oleh orang tuanya. Sekolah pun hanya untuk bisa calistung tok. Yang perempuan lulus SMP atau SMA langsung menikah, yang laki-laki lulus atau tidak SMP/SMA tetap ke Jakarta mencari kerja.
Masalah ekonomi masih menjadi alasan klasik kami untuk diam di tempat. Tapi apakah karena masalah ekonomi pula adat dan budaya kampung ini tersisihkan? Lalu nilai-nilai dan norma yang ada semakin ditinggalkan? Yang tabu tak lagi dianggap malu, yang hina malah disuka, namun yang berwenang tetap tak mau tahu.
Belum cukup sampai disitu. Layaknya di kota, ketimpangan antara si miskin dan si kaya pun terjadi di kampungku. Si kaya semakin merajalela dan menikmati perannya untuk membuat si miskin iri. hingga nenek tua yang hidup sendiri di tinggal anak-anaknya.
Komplitsudah permasalahan di kampungku. Jika siklus ini terus berlangsung, lalu apa gunanya pendidikan? Toh sebagian besar mereka bekerja dengan otot bukan otak. Indonesia merdeka 71tahun atau 400 tahun lagi pun mungkin tak ada yang berubah banyak pada kampungku. Oh sungguh miris ..!!! Cukup sekian unek - unek dari saya yg peduli dan cinta sama desaku tercinta.
kalau ada kata saya yg kurang berkenan ANG MIAN mohon maaf yang sebesar-besar nya
WASALAM